Tukka, Tapanuli Tengah, December 18
Pagi itu, sekitar pukul tujuh, saya sedang menjalankan aktivitas seperti biasa di rumah. Tiba-tiba terdengar suara keras dari luar. Saya dan para tetangga serentak keluar untuk melihat apa yang terjadi. Di depan rumah saya, salah aatu rumah tetangga sudah rubuh akibat tanah longsor. Tanpa berpikir panjang, kami segera membantu mengevakuasi keluarga mereka.
Namun belum genap sepuluh menit kami berada di luar rumah, bencana yang jauh lebih besar datang. Longsor yang luar biasa dahsyat disertai aliran air yang sangat deras dan besar menghantam pemukiman kami. Dalam sekejap, rumah saya dan rumah-rumah warga lainnya rubuh serentak. Kepanikan pun melanda. Kami segera berkumpul, membentuk lingkaran kecil, saling berangkulan, memastikan tidak ada satu pun dari kami yang terlepas.
Di tengah kepanikan itu, kami sangat bersyukur. Semua orang sedang berada di luar rumah karena sedang membantu tetangga yang rumahnya rubuh, dan ada pula yang hanya menyaksikan kejadian, sehingga tidak ada seorang pun yang tertinggal di dalam rumah. Tidak ada korban yang tertimpa bangunan maupun tertimbun longsor. Selamat dari bencana ini adalah benar-benar menjadi anugerah terbesar di tengah bencana tersebut.
Malam itu, dan dua malam berikutnya, adalah masa yang sangat mencekam. Kami tidak memiliki tempat berteduh, hanya langit sebagai atap. Hujan turun, malam gelap dan dingin, nyamuk mengerumuni tanpa henti. Sepanjang malam, kami saling berjaga, tetap waspada terhadap ancaman longsor susulan, memastikan satu sama lain tetap aman.
Selama dua hari, kami hanya mengandalkan beras yang tersedia di gereja, beras yang sebelumnya disiapkan untuk perayaan Natal. Dari situlah kami bertahan hidup, berbagi seadanya, dan saling menguatkan di tengah keterbatasan.
Pada hari ketiga, saya dan anak-anak memberanikan diri untuk keluar dari pemukiman kami. Jalan utama masih tergenang seperti lautan air dan tidak bisa dilalui. Kami mencoba mencari jalan lain melalui hutan. Jalannya sangat curam dan licin. Dengan penuh kehati-hatian, saya berjuang menjaga anak-anak agar tidak tergelincir ke jurang. Setiap langkah terasa berat, tetapi harapan untuk selamat dan mendapatkan bantuan membuat kami terus melangkah.
Setibanya di tempat pengungsian, kami berusaha mencari bantuan makanan dan pakaian. Jujur, ada rasa malu, seperti meminta-minta. Namun saya berusaha mengalahkan perasaan itu demi anak-anak dan keluarga lainnya, agar keberadaan kami diketahui, bahwa di tempat kami juga semuanya porak-poranda dan kami benar-benar membutuhkan pertolongan.
Rumah saya hancur. Rumah -rumah tetangga saya juga hancur. Bentor saya, satu satu yang saya pakai untuk mencari nafkah juga hancur oleh material banjir bandang dan tanah longsor. Sebelum disaster terjadi, saya bekerja sehari hari menjadi sebagai sopir bentor di kota Sibolga. Begitulah ceritanya bagaimana keluarga kami bertahan. Saat ini semuanya hilang sekejap.
Saya tidak tahu bagaimana harus mencari nafkah ke depan. Namun satu hal yang selalu saya syukuri: kami selamat. Dan selama kami masih bersama dan ada kepedulian dari sesama, saya percaya kami akan menemukan jalan untuk bangkit kembali. Cerita Pak Yusuf, salah satu penyintas di kelurahan Tukka (nama disamarkan).
Story of Mr. Yusuf, one of the survivors in Tukka Sub-district (name has been changed).





